1)
Syamsuddin al-Sumatrani
Nama lengkapnya Syamsuddin bin
Muhammad al-Pasai al-Sumatrani, lahir di Pasai (sekarang Aceh Utara). Tahun
kelahirannya tidak diketahui. Ia salah seorang ulama yang berpengaruh di masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda sejak tahun 1607 M, atau setelah Hamzah
Fansuri wafat. Pendidikan awal diperoleh di Pasai, khususnya dari ulama-ulama
periode Kesultanan Pasai. Dan pada akhir abad 16 ia hijrah menimba ilmu ke
Koetaradja, Aceh Darussalam. Sebagian sarjana berpendapat ia adalah murid
Hamzah Fansuri di Kesultanan Aceh. Jabatan dan fungsi yang diemban sebagai
Syaikhul Islam dan Qadhi Malik al-'Adil. Ia mampu menerapkan berbagai peraturan
keagamaan dan pendidikan di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Beberapa
karyanya :
- Mir'atul Mukmin (Akhlak dan llmu Tasawuf),
- Jauharul Haqaiq (Filsafat, Tauhid atau Ketuhanan),
- Risalatul Baiyin Mulaladhatil Muwahhidin 'Ala Mulhid Fi Zikrillah (Filsafat, menolak paham ateisme),
- Kitabul Harakah,(kumpulan risalah tentang ketauhidan)
- Nurul Daqaiq (Kepercayaan dan Ketuhanan),
- Mi'ratul Iman (Filsafat dan Keimanan)
- Syarah Mir'atul Qulub (Akhlak dan Tasawuf),
- Syar'ul Arifin (Ketuhanan),
- Ushulat tahqiq (Ketuhanan),
- Mir'atul Haqiqah (Hakikat dan Ma'rifat),
- Kitabul Martabah (Filsafat dan Nilai-nilai Manusia),
- Risalatul Wahhab (Ilmu Tauhid),
- Mir'atul Muhaqiqin (Tarikat dan Tauhid),
- Thanbihullah (Akhlak),
- Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (Kitab Filsafat, menguraikan karya sastra Ruba'i Hamzah Fansuri)
Kedalaman ilmu dan wara' yang dimiliki oleh Syamsuddin
al-Sumatrani membuat ia di ukira namanya dalam Naksh Bustan al-Salatin karangan
Nuruddin al-Raniri, sebagai ulama yang termasyhur dan sangat mendalam
tasawufnya. Ia meninggal pada malam Senin, 12 Rajab 1039 H (25 February 1630
M), sesuai dengan catatan dalam naskah tersebut.
2) Syeikh Hamzah
Fansuri
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang
cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup
antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus
yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi
dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap
Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara
kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang
penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis
yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana
dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai
sampai sekarang. Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan bahwa
sudah sekian lama beliau berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka
dan turunan mereka pantas digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari
syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada
kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk
tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang
menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair
Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa
pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011
H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma
Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan
bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai
tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut
bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu,
India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir
dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf,
falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang
bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih
dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
Karya-karya Hamzah Fansuri
Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri
terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia
tercatat buku-buku syairnya antara lain :
a. Syair burung pingai
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah
Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain:
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani
‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri
baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para
sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri
antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai
tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt
yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa
yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed
Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara
mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan
Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri
antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri
(disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah,
IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah
Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair,
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[1][3]
Menurut beberapa pengamat sastra
sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syi'r al-
Kasyaf wa al-Ilham, yaitu
puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan
masalah cinta Ilahi).
Berikut adalah karya sastranya :
Petikan Syair Dagang
Hai sekalian kita yang kurang
nafsumu itu lawan berperang
jangan hendak lebih baiklah kurang
janganlah sama dengan orang
Amati-amati membuang diri
menjadi dagang segenap diri
baik-baik engkau fikiri
supaya dapat emas sendiri
~Hamzah Fansuri
Syair si Burung Pingai
Hamzah sesat di dalam hutan
pergi uzlat berbulan-bulan
akan kiblatnya picek dan jawadan
inilah lambat mendapat Tuhan
Unggas pingai bukannya balam
berbunyi siang dan malam
katanya akal ahl al-alam
Hamzah Fansuri sudahlah kalam
Tuhan hamba yang punya alam
timbulkan Hamzah yang kalam
ishkinya jangankan padam
supaya warit di laut dalam
~ Hamzah Fansuri
Syair Perahu
Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.
Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.
Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.
Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.
Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba’id.
Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.
Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.
Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.
La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.
Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.
Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.
Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.
Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.
Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.
Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.
Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.
Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya.
“Taharat dan istinja’” nama lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.
Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu Akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.
Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.
Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.
Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.
Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.
Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
(baris ini tidak terbaca)
Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.
Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?
La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.
La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.
La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da’im dan ka’im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.
La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.
La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.
La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma’rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.
La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.
La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.
~ Hamzah Fansuri
Hai sekalian kita yang kurang
nafsumu itu lawan berperang
jangan hendak lebih baiklah kurang
janganlah sama dengan orang
Amati-amati membuang diri
menjadi dagang segenap diri
baik-baik engkau fikiri
supaya dapat emas sendiri
~Hamzah Fansuri
Syair si Burung Pingai
Hamzah sesat di dalam hutan
pergi uzlat berbulan-bulan
akan kiblatnya picek dan jawadan
inilah lambat mendapat Tuhan
Unggas pingai bukannya balam
berbunyi siang dan malam
katanya akal ahl al-alam
Hamzah Fansuri sudahlah kalam
Tuhan hamba yang punya alam
timbulkan Hamzah yang kalam
ishkinya jangankan padam
supaya warit di laut dalam
~ Hamzah Fansuri
Syair Perahu
Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.
Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.
Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.
Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.
Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba’id.
Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.
Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.
Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.
La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.
Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.
Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.
Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.
Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.
Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.
Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.
Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.
Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya.
“Taharat dan istinja’” nama lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.
Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu Akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.
Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.
Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.
Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.
Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.
Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
(baris ini tidak terbaca)
Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.
Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?
La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.
La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.
La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da’im dan ka’im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.
La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.
La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.
La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma’rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.
La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.
La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.
~ Hamzah Fansuri
Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri
Banyak ulama Indonesia di kenal
lantaran karya-karya mereka yang tersebar di berbagai wilayah dunia Islam. Di antara
ulama Indonesia yang dikenal sebagai pengarang adalah Nuruddin Ar-Raniri,
Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari.
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau
keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya
Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama,
tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau
Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi
filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar
ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis
Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan
dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di bidang kesusastraan pula Syeikh Hamzah
Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris
dengan skema sajak akhir a-a-a-a syair sebagai suatu bentuk pengucapan sastra
seperti halnya pantung sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai
pada abad ke-20.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan
Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat di ingkari. Pertama, sebagai penulis
pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah
berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern.
Dengan demikian keduudkan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan
persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang
lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua,
jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah
Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses
Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi
pemikiran dan kebudayaan.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan
telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula
mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian,
kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di
dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf
klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara,
disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri,
dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup
metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja
merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di
dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih
dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri
Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam
isinya dan luas cakrawala permasalahannya.
Simaklah syair Hamzah Fansuri yang
ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri,
kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau
disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada
segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan
“melihat” atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan
bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode
tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang
sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau
spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah
meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan
hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri
menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di
dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:
“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat
jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus
dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju
kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran
Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus
“lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap
tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi
memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna
melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai,
kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau
meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.
Pada hakikatnya,
menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya memerlukan kepasrahan dan
keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang/Pada kedua alam nyata
terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu
dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Azumardi Azra menyebutkan bahwa
faham Hamzah Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang
memementingkan Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan pembarahu Islam
atau neo-sufisme.
Fahamnya tersebut mendapat
pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk membasi faham wujudiyah
ini, kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah fansuri bahkan
dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarnya di Butuhkan Gan